Jelang akhir 2006, nelayan di Palembang mendapat berbagai jenis hewan laut. Hiu, pari laut, serta penyu, bermigrasi ke Sungai Musi hingga akhirnya masuk jala nelayan. Fenomena alam yang sama, kini mulai terlihat kembali.
TAK pernah terbayangkan sebelumnya oleh Amrullah, akhirnya ia dapat melihat ikan hiu dalam keadaan masih hidup. Bahkan warga RT 4, No 113, Kelurahan 32 Ilir, Kecamatan Ilir Barat (IB) II, Palembang ini, sempat memiliki ikan buas pemangsa daging itu, meski hewan tersebut masih kecil. Bukan cuma sekali, tapi dua kali. Hiu pertama memiliki panjang sekitar 75cm dan hiu kedua sekitar 90cm.
Amrullah bukanlah pencinta hewan buas. Lelaki yang tinggal di tepian Musi hanya seorang pengumpul ikan dari para nelayan untuk kemudian dijual kepada para pedagang ikan di pasar-pasar.
Saat dijumpai, Jumat (13/7), Amrullah menuturkan kembali pengalaman mendapat hiu. Kejadiannya sekitar September 2006. Suatu pagi, Amrullah lupa tanggal dan harinya, seperti biasa dia menjalankan aktivitas menunggu nelayan menyetor ikan segar. Dia sangat terkejut ketika seorang nelayan sungai asal Kelurahan 2 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu (SU) I, Palembang, datang sambil membawa seekor ikan hiu. Lebih takjub lagi, ikan yang masih anakan itu, dalam keadaan hidup.
Sejenak Amrullah terpana dan mengaku bingung. Seumur hidup dia tidak pernah melihat langsung ikan hiu. Ini tentunya kejadian yang langka dan luar biasa bagi dia. Namun logikanya kembali berpikir, hendak dijual ke mana ikan hiu yang menurut para nelayan merupakan jenis momol itu nantinya. Sebab, sepanjang menggeluti profesi sebagai pengumpul ikan, tidak pernah ada yang minta dipasok ikan hiu.
Akhirnya, sebagai orang yang konsekuen dengan profesi, Amrullah menerima hiu itu. Keputusan tersebut didorong pula oleh keinginannya untuk memiliki peliharaan ikan hiu. Keberadaan ikan pemakan daging itu, langsung menyebar dari mulut ke mulut. Warga yang penasaran, berbondong-bondong mendatangi rumah Amrullah. Bahkan beberapa anak kecil dengan berani menekan-nekan badan ikan buas itu. Amrullah pun semakin khawatir. Untuk menjaga keselamatan akhirnya mulut dan ekor ikan tersebut diikat. “Tangan bisa putus kalau tergigit ikan yang giginya tajam-tajam itu. Bahaya kalau tak diikat,” ujarnya.
Tertangkapnya seekor anak ikan hiu itu akhirnya sampai ke pihak Balai Riset Perikanan Perairan Umum berniat membeli ikan tersebut. Takut ikan itu mencelakakan orang, juga adanya pemikiran soal biaya pemeliharaan yang dipastikan tinggi, Amrullah pun bersedia melepas si hiu. Bahkan, dia tak mematok harga, diserahkan kepada kerelaan tim dari balai tersebut. Sekitar satu bulan kemudian, nelayan yang sama kembali menjual hiu kepada Amrullah. Dia pun menyerahkan ikan itu ke Balai Riset Perikanan Perairan Umum.
Selain hiu, pada rentang waktu yang sama, yakni September – Oktober, Amrullah juga memperoleh pasokan ikan pari laut dari nelayan di Palembang. Hewan itu juga ditangkap di perairan Musi. Jumlahnya juga dua ekor. Bobot keduanya hampir sama yaitu sekitar 145kg, dengan lebar piringan 1,45 meter dan panjang 1,47 meter.
Tertangkapnya ikan laut di sungai merupakan fenomena yang biasa terjadi pada era 60-an hingga 70-an. Hal ini diketahui Amrullah berdasarkan cerita orangtuanya. Pada era itu, saat arus pasang, nelayan sering mendapatkan hasil pancingan berupa ikan hiu. Rusaknya ekosistem perairan sungai akibat pengaruh nelayan nakal yang menggunakan racun dan setrum, diduga menjadi penyebab fenomena tersebut kian jarang terjadi.
Cerita tentang masuknya hewan laut ke Sungai Musi, dituturkan juga oleh Zul. Warga RT 04, Kelurahan 32 Ilir, Kecamatan IB II ini, pada kemarau tahun lalu juga menemukan seekor penyu terdampar di tepi sungai. Menurut dia, ukuran penyu itu sepelukan orang dewasa. Merasa iba dengan kondisi penyu yang penuh luka, Zul lalu mendorong penyu itu kembali ke sungai.
Bagi para nelayan di Sungai Musi, mendapat ikan laut di Sungai Musi, tidaklah terlalu aneh, meski hal itu jarang terjadi. Namun untuk hewan buas seperti hiu, masih agak langka.
Nasrun, nelayan yang dijumpai sedang memasang jaring di sungai di Kelurahan 32 Ilir, menuturkan, saat musim kemarau, hewan laut sering terbawa ke Sungai Musi. Peristiwa itu umumnya terjadi pada bulan Oktober hingga November. “Kalau saat pasang airnya berwarna biru, biasanya banyak ikan laut yang tertangkap.”
Terhadap fenomena ini, Dr Ir Husnah MPHIL, Ketua Kelompok Peneliti Lingkungan dan Ekotoksikologi, Balai Riset Perikanan Perairan Umum (BRPPU), menjelaskan, tingkat pasang surut air laut, tergantung pada daya tarik bulan. Pada situasi tertentu, pasang terjadi tinggi dan pada saat lain terjadi pasang rendah.
Ada dua jenis pengaruh laut terhadap sungai. Salah satunya disebabkan oleh energi atau kekuatan dorongan air. Berdasarkan informasi dari nelayan yang didapat pihak BRPPU, diketahui bahwa tendangan air laut terjauh pada Agustus telah mencapai Danau Cala di Kabupaten Musi Banyuasin. Namun berdasarkan riset BRPPU sendiri, tendangan air laut baru mencapai Desa Tebing Abang, Kabupaten Muaraenim. Tendangan laut yang disebut Husnah, tidak membawa kadar garam.
Sedangkan bila dilihat dari massa air laut, berdasar riset yang dilakukan Kelompok Peneliti Lingkungan dan Ekotoksikologi BRPPU pada Juni hingga Juli 2007, salinitas (kadar garam) telah mencapai Selat Cemara yang sudah masuk perairan Musi, sebesar 0,1 per mil (0,10/0). Kemungkinan salinitas akan semakin tinggi saat musim kemarau.
“Salinitas pada Sungai Musi tergantung dengan daya dorong laut serta curah hujan dari hulu. Pada Agustus kita akan kembali memantau hingga di mana salinitas ini terjadi,” ujarnya.
Mengenai hiu yang tertangkap nelayan di Sungai Musi, Husnah menjelaskan, itu adalah hiu jenis Carcharhinus leucas, yang ketika dewasa panjangnya bisa mencapai tiga meter. Sedangkan yang tertangkap oleh nelayan kala itu, baru merupakan bayi yang berukuran 75 cm. Selain itu, pada tempat yang sama tertangkap pula ikan pari jenis Himantura Chaophraya. Ikan pari jenis ini memiliki piringan berwarna hitam.
Masuknya ikan hiu ini merupakan kejadian yang accidental. Meski demikian, timnya terus melakukan penelitian untuk mencari penyebab keberadaan hewan-hewan itu di Sungai Musi.
Ada tiga kemungkinan yang dapat mempengaruhi keberadaan hewan laut di Sungai Musi. Pertama ikan tersebut dipengaruhi oleh kadar urea di sekitar PT Pusri. Kemungkinan kedua, kemampuan makhluk tersebut untuk beradaptasi dengan berbagai tingkat salinitas air. Dan kemungkinan ketiga, air laut memang telah mencapai wilayah tempat ditemukannya ikan tersebut.
Bila kemungkinan ketiga yang benar, maka pada puncak kemarau 2007 ini, kejadian itu kemungkinan dapat terulang. Apalagi kini salinitas sudah sampai Selat Cemara. Kemungkinan, ‘serangan’ salinitas akan semakin masuk ke sungai pada bulan berikutnya. Andai itu terjadi, tak hanya hiu yang kesasar sampai lewat Ampera, melainkan air di seputaran Benteng Kuto Besak (BKB) akan membiru oleh air laut saat pasang terjadi. amiriansyah
Filed under: Fenomena | Leave a comment »