Surat Buat Kartini


Kepada Yang Terhormat
Ibu Raden Ajeng Kartini di alam barzah
Salam sejahtera dari kami penghuni dunia

Kuulur sejuta kasih padamu
Kuulur sejuta bintang atas jasa yang kau berikan
Sehingga kaum wanita bisa bicara
Sehingga kaum wanita bisa menyulap emas jadi roti
Sehingga kaum wanita… lupa berapa panjang sumbu kompor

Arisan… dunianya wanita, katanya
Bicara periuk tetangga adalah dunianya wanita, katanya
Sementara di Flores sana kaum wanitanya bertelanjang dada
Lantaran tak ada kain penutupnya

Wahai, bagikan kacang gorengmu satu-satu
Biar dada mereka tak lagi jadi tontonan
Wahai, bagikan mereka sekeping rumus
Biar mereka tahu apa itu surplus, noun klause

Ibu Kartini di langit sana
Turunlah barang sejenak
Katakan kepada kami apa makna emansipasi
Mohon maaf jika ada kata yang salah

Hormat kami
Kartini Abad Dua Satu

Demikianlah sepenggal puisi yang dibacakan Fikha Prastini, guru SMAN 17 Palembang pada peringatan Hari Kartini 2010 di sekolah tersebut. Penggalan puisi tersebut merupakan karya Nuraini (Nr), Waka Humas SMAN 17.

Nuraini, mengatakan, puisi tersebut merupakan hasil goresan tintanya pada April 1984. Menurutnya, peringatan Hari Kartini di era awal 80-an, lebih identik dengan ajang pamer dan glamour para ibu-ibu. Hal yang dirasakannya, jauh bertolak belakang dengan semangat emansipasi itu sendiri.

“Pada Hari Kartini, semuanya seolah berlomba-lomba untuk pamer dengan penampilan yang ingin terlihat lebih dari yang lain. Sedangkan, saat itu Flores sedang terkena bencana gempa, dengan situasi yang sangat memrihatinkan,” ujarnya.

Menurutnya, membantu sesama wanita merupakan makna yang melebihi dari kegiatan kompetitif dan menjurus pada ajang pamer belaka. Makna emansipasi wanita bukan hanya sebatas kiprah perempuan pada semua lini, juga diperkuat dengan nilai kepedulian atas nasib sesama.

“Hari Kartini bukan hanya hura-hura, tapi lebih banyak makna yang dapat kita petik dari perjuangan emansipasi itu sendiri, termasuk semangat kepedulian dan kebersamaan, serta tenggang rasa antar sesama,” ujar dia.

Kartini merupakan contoh panutan bagi kaum wanita. Pada sosok pejuang emansipasi tersebut, terbentuk semangat kesederhanaan. Nuraini menilai, emansipasi merupakan keinginan untuk mengubah hal-hal yang kurang baik, menjadi lebih baik.

Perubahan tersebut tidak bisa terlepas dari fitrah wanita dan laki-laki. Baginya, tujuan emansipasi akan menjadi gagal bila wanita melakukan tindakan yang bertolak belakang dengan kodratnya.

Tak ingin terkesan bermewah-mewah dan tidak ingin melenceng dari semangat emansipasi, maka peringatan Hari Kartini di SMAN 17 Palembang digelar secara sederhana. Peringatan hari lahir RA Kartini di sekolah Rintisan Berstandar Internasional (RSBI) tersebut hanya digelar di ruang rapat, diikuti oleh guru, pegawai, serta pengurus OSIS.

Kegiatannya disetting jauh dari gebyar kompetisi fenimisme yang biasanya menghiasi pada setiap peringatan Hari Kartini. Meski sederhana, mereka yang hadir tetap mampu memetik hikmah dari emansipasi tersebut.

Seluruh yang hadir diajak untuk merenungi secara mendalam makna dari emansipasi. Puncak peringatan ditutup dengan persembahan tumpenh oleh guru laki-laki kepada guru wanita. amiriansyah

Sahur… sahur…


Tinggal di perantauan serta jauh dari orangtua merupakan tantangan yang harus dirasakan sejumlah mahasiswa, demi cita-cita yang diimpikan. Kemandirian merupakan syarat mutlak memenangkan tantangan ini, termasuk dalam hal menyiapkan santap sahur saat Ramadhan.

SAHUR… sahur… suara yang terdengar dari pengeras suara di Masjid Rahmatullah, Palembang, tak jauh dari tempat tinggalku. Seruan yang seolah mencairkan suasana pagi yang dingin.

Seketika aku terjaga, meski jarum jam baru bergerak sedikit dari pukul 02.00. Sesuatu yang jarang terjadi padaku pada hari-hari lainnya. Sedikit menggerakan tubuh, kesadaranku pun berangsur seratus persen.

Telingaku mulai menangkap suara gemericik air, serta riuh suara penggorengan. Ini pertanda bahwa beberapa warga telah terlebih dahulu memulai aktivitasnya.

Begitu juga dengan sejumlah mahasiswa yang tinggal di salah satu rumah kost yang bersebelahan dengan rumahku di Kelurahan Pahlawan, Kecamatan Kemuning, Palembang. Meski sayup, suara penggorengan juga terdengar dari tempat tinggal tersebut. Lampu rumah juga telah dinyalakan, pertanda penghuninya telah terjaga.

Pandanganku seketika beralih ke arah derak pintu yang berasal tak jauh dari tempat semula. Seorang pemuda sedang berkutat mengeluarkan motor dari dalam rumah. Bukan hendak mencuri motor, pemuda itu bernama Purnomo, mahasiswa calon sarjana pendidikan jurusan olahraga Universitas PGRI Palembang, penghuni kost tersebut.

Dengan sekali hentakan, mesin motornya langsung bersuara. Seolah tak ingin berlama-lama, Purnomo lalu menggebernya menuju mulut gang. Hanya hitungan detik, bebek tersebut menghilang dari pandangan. Hanya berselang sekitar 20 menit, ia telah kembali dengan membawa sebuah bungkusan dalam kantung plastic hitam.

“Tiap sahur, kita biasa beli lauk di warung. Semalam saya buka bersama, jadi tak sempat beli lauk,” ujarnya.

Tak berapa jauh dari tempat tinggal Purnomo, antrean panjang pemuda terjadi di Kantin Rahayu. Kantin ini salah satu yang menyediakan menu santap sahur. Pemilik kantin, terlihat sibuk melayani pembeli yang rata-rata adalah mahasiswa. “Dibungkus apa makan disini?,” dirinya bertanya pada seorang pengujung.

Menyediakan menu santap sahur biasa dilakukan, pada setiap Ramadhan. Ini merupakan cara yang ia lakukan untuk tetap mempertahankan usahanya. Sebab, siang hari kantin ini tutup dan baru bdibuka pada pukul 16.00.

Khusus melayani pelanggannya yang bersantap sahur, kantin ini buka mulai pukul 03.00. “Jam buka kita juga cenderung pendek, karena mahasiswa yang makan, cenderung datang secara serentak,” ujarnya.

Jumlah pengujung paling ramai, biasa terjadi sekitar pukul 04.00. Selepas itu, suasana langsung berubah drastis menjadi sepi. Bila tak ada lagi yang makan di tempatnya, Rahayu cenderung  memilih untuk menutup warung makannya, meski belum memasuki waktu imsak.

Sementara itu, Deni seorang warga yang kedapatan membawa banyak bungkusan makanan, mengatakan, ia diutus oleh teman-temannya untuk membeli santap sahur. Sudah menjadi perjanjian diantara mereka, untuk secara bergilir menjadi utusan dalam membeli santap sahur. Namun dengan cara ini, dampaknya membuat petugas yang tidak bertugas, umumnya menunggu untuk dibangunkan.

“Dari segi keadilan ini memang bagus, karena dilakukan secara bergilir. Namun, pengalaman tahun lalu, kadang-kadang mereka yang bertugas terkadang terlambat bangun, kalau sudah begini  bisa-bisa seluruh penghuni kos tidak santap sahur,” ujarnya sembari tersenyum.

Berpuasa di perantauan merupakan kenangan yang terus membekas diingatan sebagian warga. Memori yang kerap muncul mengiringi kerinduan terhadap Ramadhan. amiriansyah

Darah Kambing Hitam, Pembawa Keberuntungan


Puluhan orang mencelupkan uangnya ke ember berisi darah seekor kambing hitam yang dipotong pada puncak perayaan Cap Go Meh di Pulau Kemaro. Bukan bermaksud menyia-nyiakan uang, tapi mereka percaya, dengan cara itu keberuntungan akan mengiringi sepanjang tahun.

PUNCAK perayaan Cap Go Meh di Pulau Kemaro, Jumat malam, 2 Maret 2007, dihadiri ribuan manusia. Pulau kecil di perairan Sungai Musi itu pun jadi penuh sesak. Warga terlihat antusias mengikuti puncak perayaan yang diadakan setahun sekali, di pulau legenda di Palembang tersebut.

Berbagai hiburan disuguhkan. Di antaranya pertunjukan wayang orang, atraksi barongsai dan liong, pentas musik, permainan tanjidor, serta tidak ketinggalan pertunjukan kembang api. Semua digelar untuk menyemarakkan perayaan yang sudah tersiar luas hingga ke negara tetangga.

Di antara sederet acara dan ritual itu, ada satu tradisi tahunan yang sangat dinanti warga keturunan Tionghoa pada perayaan Cap Go Meh di Pulau Kemaro. Yaitu ritual pemotongan seekor kambing hitam.

Ritual tersebut dilakukan tepat pukul 00.00, saat puncak perayaan Cap Go Meh. Kambing hitam yang dikorbankan, selain warna bulunya harus hitam secara keseluruhan, juga mata dan lidah si kambing juga harus gelap. Saat pemotongan, darah kambing yang mengalir, ditampung dalam ember.

Ketua Panitia Perayaan Cap Go Meh Pulau Kemaro Chandra Husin mengaku tidak tahu pasti makna yang terkandung dari pemotongan kambing hitam.  Menurutnya, pemotongan kambing dilakukan karena mengikuti tradisi yang sudah berjalan selama ratusan tahun.

“Saat tradisi tersebut dilakukan, warga juga melakukan tradisi yang biasa kita sebut minta angpao. Tradisi ini dimaksudkan agar rejeki yang diperoleh pada tahun ini dapat lebih baik,” ujarnya.

Tradisi minta angpao yang dimaksudkan adalah mencelupkan sesuatu ke dalam darah kambing hitam yang dikorbankan. Dapat berupa uang atau kantong yang berisi bunga. Semua bertujuan untuk pengharapan agar usaha atau rejeki yang diterima di tahun baru ini, akan lebih baik dibanding tahun lalu.

Puluhan bahkan ratusan warga, secara bergantian antusias mengambil darah kambing yang ditampung petugas di dalam ember. Tujuan mereka sama yaitu mengharapkan kebaikan rejeki di tahun ini.

A Cu (53), warga Jalan Veteran, yang terlihat sabar menunggu petugas menyembelih kambing hitam, mengaku, percaya darah kambing saat perayaan Cap Go Meh dapat membawa peruntungan. “Namun tergantung orangnya juga, bila dia tidak berusaha, ya tidak mungkin berhasil.”

Uang yang telah dicelupkan ke darah kambing, kemudian dikeringkan. Setelah itu penggunaannya tergantung dari niat warga masing-masing. Ada warga yang kemudian menyimpan uang yang telah berlumur darah tersebut di dalam dompet, dengan maksud uang selalu mengalir ke dalam dompetnya. Adapula yang meletakkannya di dalam laci uang saat berdagang.

Selain uang, yang biasa dicelupkan atau sekadar diperciki darah kambing tersebut adalah kantong berisi bunga. Setelah dibasahi darah, kantong tersebut kemudian akan digantung di atas pintu, di tempat membuka usaha.

Hadi Yusman, warga Jalan Dr M Isa, yang terlihat membasahi uangnya dengan darah kambing tersebut, mengatakan, hasil yang diperoleh dari tradisi minta angpao kepada dewa tersebut tidaklah menentu. Pengusaha mebel ini menuturkan, khasiat yang diterima oleh setiap orang yang melakukan tradisi itu, tidak sama.

“Terkadang efeknya langsung kelihatan, usahanya langsung maju. Semua tergantung orangnya, kalau malas ya tidak berhasil,” ujarnya.

Tradisi ini setidaknya berdampak positif bagi pembangunan di Pulau Kemaro. Warga yang merasa usahanya telah berhasil dan dia percaya keberhasilannya berkat khasiat dari darah kambing hitam, biasanya akan datang kembali pada tahun mendatang. Kedatangan mereka selain melakukan pengharapan yang sama, juga memberikan bantuan untuk pembangunan Pulau Kemaro serta untuk kemeriahan acara Cap Go Meh pada tahun mendatang.  amiriansyah

Saat Hiu Melintasi Ampera


Jelang akhir 2006, nelayan di Palembang mendapat berbagai jenis hewan laut. Hiu, pari laut, serta penyu, bermigrasi ke Sungai Musi hingga akhirnya masuk jala nelayan. Fenomena alam yang sama, kini mulai terlihat kembali.

TAK pernah terbayangkan sebelumnya oleh Amrullah, akhirnya ia dapat melihat ikan hiu dalam keadaan masih hidup. Bahkan warga RT 4, No 113, Kelurahan 32 Ilir, Kecamatan Ilir Barat (IB) II, Palembang ini, sempat memiliki ikan buas pemangsa daging itu, meski hewan tersebut masih kecil. Bukan cuma sekali, tapi dua kali. Hiu pertama memiliki panjang sekitar 75cm dan hiu kedua sekitar 90cm.

Amrullah bukanlah pencinta hewan buas. Lelaki yang tinggal di tepian Musi hanya seorang pengumpul ikan dari para nelayan untuk kemudian dijual kepada para pedagang ikan di pasar-pasar.

Saat dijumpai, Jumat (13/7), Amrullah menuturkan kembali pengalaman mendapat hiu. Kejadiannya sekitar September 2006. Suatu pagi, Amrullah lupa tanggal dan harinya, seperti biasa dia menjalankan aktivitas menunggu nelayan menyetor ikan segar. Dia sangat terkejut ketika seorang nelayan sungai asal Kelurahan 2 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu (SU) I, Palembang, datang sambil membawa seekor ikan hiu. Lebih takjub lagi, ikan yang masih anakan itu, dalam keadaan hidup.

Sejenak Amrullah terpana dan mengaku bingung. Seumur hidup dia tidak pernah melihat langsung ikan hiu. Ini tentunya kejadian yang langka dan luar biasa bagi dia. Namun logikanya kembali berpikir, hendak dijual ke mana ikan hiu yang menurut para nelayan merupakan jenis momol itu nantinya. Sebab, sepanjang menggeluti profesi sebagai pengumpul ikan, tidak pernah ada yang minta dipasok ikan hiu.

Akhirnya, sebagai orang yang konsekuen dengan profesi, Amrullah menerima hiu itu. Keputusan tersebut didorong pula oleh keinginannya untuk memiliki peliharaan ikan hiu. Keberadaan ikan pemakan daging itu, langsung menyebar dari mulut ke mulut. Warga yang penasaran, berbondong-bondong mendatangi rumah Amrullah. Bahkan beberapa anak kecil dengan berani menekan-nekan badan ikan buas itu. Amrullah pun semakin khawatir. Untuk menjaga keselamatan akhirnya mulut dan ekor ikan tersebut diikat. “Tangan bisa putus kalau tergigit ikan yang giginya tajam-tajam itu. Bahaya kalau tak diikat,” ujarnya.

Tertangkapnya seekor anak ikan hiu itu akhirnya sampai ke pihak Balai Riset Perikanan Perairan Umum berniat membeli ikan tersebut. Takut ikan itu mencelakakan orang, juga adanya pemikiran soal biaya pemeliharaan yang dipastikan tinggi, Amrullah pun bersedia melepas si hiu. Bahkan, dia tak mematok harga, diserahkan kepada kerelaan tim dari balai tersebut. Sekitar satu bulan kemudian, nelayan yang sama kembali menjual hiu kepada Amrullah. Dia pun menyerahkan ikan itu ke Balai Riset Perikanan Perairan Umum.

Selain hiu, pada rentang waktu yang sama, yakni September – Oktober, Amrullah juga memperoleh pasokan ikan pari laut dari nelayan di Palembang.  Hewan itu juga ditangkap di perairan Musi. Jumlahnya juga dua ekor. Bobot keduanya hampir sama yaitu sekitar 145kg, dengan lebar piringan 1,45 meter dan panjang 1,47 meter.

Tertangkapnya ikan laut di sungai merupakan fenomena yang biasa terjadi pada era 60-an hingga 70-an. Hal ini diketahui Amrullah berdasarkan cerita orangtuanya. Pada era itu, saat arus pasang, nelayan sering mendapatkan hasil pancingan berupa ikan hiu. Rusaknya ekosistem perairan sungai akibat pengaruh nelayan nakal yang menggunakan racun dan setrum, diduga menjadi penyebab fenomena tersebut kian jarang terjadi.

Cerita tentang masuknya hewan laut ke Sungai Musi, dituturkan juga oleh Zul. Warga RT 04, Kelurahan 32 Ilir, Kecamatan IB II ini, pada kemarau tahun lalu juga menemukan seekor penyu terdampar di tepi sungai. Menurut dia, ukuran penyu itu sepelukan orang dewasa. Merasa iba dengan kondisi penyu yang penuh luka, Zul lalu mendorong penyu itu kembali ke sungai.

Bagi para nelayan di Sungai Musi, mendapat ikan laut di Sungai Musi, tidaklah terlalu aneh, meski hal itu jarang terjadi. Namun untuk hewan buas seperti hiu, masih agak langka.

Nasrun, nelayan yang dijumpai sedang memasang jaring di sungai di Kelurahan 32 Ilir, menuturkan, saat musim kemarau, hewan laut sering terbawa ke Sungai Musi. Peristiwa itu umumnya terjadi pada bulan Oktober hingga November. “Kalau saat pasang airnya berwarna biru, biasanya banyak ikan laut yang tertangkap.”

Terhadap fenomena ini, Dr Ir Husnah MPHIL, Ketua Kelompok Peneliti Lingkungan dan Ekotoksikologi, Balai Riset Perikanan Perairan Umum (BRPPU), menjelaskan, tingkat pasang surut air laut, tergantung pada daya tarik bulan. Pada situasi tertentu, pasang terjadi tinggi dan pada saat lain terjadi pasang rendah.

Ada dua jenis pengaruh laut terhadap sungai. Salah satunya disebabkan oleh energi atau kekuatan dorongan air. Berdasarkan informasi dari nelayan yang didapat pihak BRPPU, diketahui bahwa tendangan air laut terjauh pada Agustus telah mencapai Danau Cala di Kabupaten Musi Banyuasin. Namun berdasarkan riset BRPPU sendiri, tendangan air laut baru mencapai Desa Tebing Abang, Kabupaten Muaraenim. Tendangan laut yang disebut Husnah, tidak membawa kadar garam.

Sedangkan bila dilihat dari massa air laut, berdasar riset yang dilakukan Kelompok Peneliti Lingkungan dan Ekotoksikologi BRPPU pada Juni hingga Juli 2007, salinitas (kadar garam) telah mencapai Selat Cemara yang sudah masuk perairan Musi, sebesar 0,1 per mil (0,10/0). Kemungkinan salinitas akan semakin tinggi saat musim kemarau.

“Salinitas pada Sungai Musi tergantung dengan daya dorong laut serta curah hujan dari hulu. Pada Agustus kita akan kembali memantau hingga di mana salinitas ini terjadi,” ujarnya.

Mengenai hiu yang tertangkap nelayan di Sungai Musi, Husnah menjelaskan, itu adalah hiu jenis Carcharhinus leucas, yang ketika dewasa panjangnya bisa mencapai tiga meter. Sedangkan yang tertangkap oleh nelayan kala itu, baru merupakan bayi yang berukuran 75 cm.  Selain itu, pada tempat yang sama tertangkap pula ikan pari jenis Himantura Chaophraya. Ikan pari jenis ini memiliki piringan berwarna hitam.

Masuknya ikan hiu ini merupakan kejadian yang accidental. Meski demikian, timnya terus melakukan penelitian untuk mencari penyebab keberadaan hewan-hewan itu di Sungai Musi.

Ada tiga kemungkinan yang dapat mempengaruhi keberadaan hewan laut di Sungai Musi. Pertama ikan tersebut dipengaruhi oleh kadar urea di sekitar PT Pusri. Kemungkinan kedua, kemampuan makhluk tersebut untuk beradaptasi dengan berbagai tingkat salinitas air. Dan kemungkinan ketiga, air laut memang telah mencapai wilayah tempat ditemukannya ikan tersebut.

Bila kemungkinan ketiga yang benar, maka pada puncak kemarau 2007 ini, kejadian itu kemungkinan dapat terulang. Apalagi kini salinitas sudah sampai Selat Cemara. Kemungkinan, ‘serangan’ salinitas akan semakin masuk ke sungai pada bulan berikutnya. Andai itu terjadi, tak hanya hiu yang kesasar sampai lewat Ampera, melainkan air di seputaran Benteng Kuto Besak (BKB) akan membiru oleh air laut saat pasang terjadi. amiriansyah